Skillset Baru Pasca Krisis: Apa yang Harus Dicari HR di Kandidat Sekarang?

Pandemi, resesi global, hingga ancaman disrupsi teknologi telah membentuk lanskap kerja yang baru. Kondisi ini tidak hanya mengubah cara bekerja, tetapi juga memaksa perusahaan untuk lebih selektif dalam mencari talenta. Bagi para HR dan rekruter, pertanyaannya bukan lagi “apakah kandidat ini cocok?”, tetapi “apakah skillset kandidat ini relevan untuk masa depan?”.

Menurut Future of Jobs Report 2024 dari World Economic Forum, sebanyak 23% pekerjaan global diperkirakan akan berubah dalam lima tahun ke depan, didorong oleh perkembangan teknologi seperti AI, big data, dan ESG (Environmental, Social, and Governance). Artinya, tim HR kini tidak cukup hanya menilai pengalaman masa lalu kandidat, tetapi juga harus fokus pada kemampuan adaptasi, keinginan belajar cepat, dan fleksibilitas untuk menghadapi perubahan pasar kerja di masa depan.

1. Kemampuan Beradaptasi dan Fleksibilitas

Setelah dunia mengalami krisis beruntun, dari pandemi hingga konflik geopolitik, perusahaan sadar bahwa perubahan adalah hal yang konstan. Maka dari itu, kemampuan beradaptasi menjadi kunci utama.

Kandidat yang mampu bertahan dan bahkan berkembang dalam ketidakpastian biasanya menunjukkan growth mindset yang kuat. Mereka bisa belajar cepat, berpindah peran bila diperlukan, dan tetap produktif dalam lingkungan kerja hybrid atau remote.

Mengutip Talkactive (2024), kemampuan beradaptasi diprediksi tetap menjadi salah satu soft skill paling dibutuhkan di dunia kerja tahun 2025, seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan problem solving, critical thinking, dan emotional intelligence.

2. Literasi Digital dan Teknologi

Krisis mempercepat digitalisasi di semua lini. Bahkan UMKM pun kini mulai aktif menjual secara online, memanfaatkan media sosial, dan melakukan pembayaran digital.

Perusahaan besar maupun startup kini menilai kandidat dari seberapa mahir mereka menggunakan tools digital yang umum digunakan di tempat kerja, seperti Google Workspace, Notion, Trello, hingga platform AI seperti ChatGPT. Bahkan untuk posisi non-teknis, pemahaman dasar soal data, otomasi, atau UI/UX kini menjadi nilai tambah.

Berdasarkan jurnal Universitas Indraprasta (2024), literasi digital menjadi faktor penting yang dapat meningkatkan peluang keberhasilan bisnis baru di era digital, karena memungkinkan efisiensi operasional tanpa membutuhkan banyak aset fisik. Ini membuat perusahaan semakin menilai kandidat dari seberapa mahir mereka menggunakan berbagai tools digital yang relevan di tempat kerja.

3. Kecerdasan Emosional dan Kolaborasi Lintas Tim

Di masa krisis, tekanan dan stres meningkat. Maka dari itu, kemampuan mengelola emosi, empati terhadap rekan kerja, dan menjaga suasana tim yang kondusif jadi makin penting.

Kecerdasan emosional (EQ) membantu individu dalam menyampaikan ide dengan lebih bijak, menyelesaikan konflik tanpa memperkeruh suasana, serta memahami kebutuhan orang lain—terutama dalam tim yang terdiri dari berbagai latar belakang dan generasi.

Menurut Harvard Business Review, pemimpin dengan EQ tinggi memiliki kemungkinan 3,5 kali lebih besar untuk menciptakan tim yang produktif dan loyal.

4. Problem Solving dan Berpikir Kritis

Kandidat yang hanya menunggu instruksi mungkin bisa menyelesaikan tugas. Tapi kandidat yang bisa mengidentifikasi masalah, mencari solusi, dan mengambil keputusan secara mandiri adalah aset yang lebih berharga, terutama ketika perusahaan harus bergerak cepat dalam kondisi krisis.

Di era pascakrisis, skill berpikir kritis makin dibutuhkan dalam segala bidang—baik itu sales, marketing, operasional, hingga customer service.

World Economic Forum bahkan menempatkan problem solving dan critical thinking dalam daftar lima besar “Top Skills for 2025”.

5. Kemampuan Belajar Mandiri (Self-learning)

Dunia kerja pasca-krisis menuntut individu yang tidak pasif. Kandidat ideal adalah mereka yang aktif belajar, tidak menunggu pelatihan formal, dan mau menggali sendiri lewat kursus daring seperti Coursera, Udemy, atau bahkan YouTube.

HR kini lebih terbuka untuk melihat sertifikasi non-tradisional, terutama yang menunjukkan upskilling di bidang-bidang seperti data analytics, digital marketing, desain, atau bahasa pemrograman.

Menurut survei Deloitte (2023), perusahaan yang mendorong budaya belajar mandiri melaporkan peningkatan produktivitas sebesar 37% dan retensi karyawan yang lebih tinggi.

Apa yang Harus Dilakukan HR Sekarang?

  1. Ubah pola wawancara. Tambahkan pertanyaan seputar kebiasaan belajar, respons terhadap kegagalan, hingga cara menghadapi perubahan.

  2. Berikan studi kasus. Penilaian berbasis case study akan membantu mengungkap logika berpikir dan respons alami kandidat terhadap masalah dunia nyata.

  3. Fokus pada potensi, bukan hanya pengalaman. Seorang kandidat dengan pengalaman terbatas bisa jadi lebih siap menghadapi tantangan dibanding yang berpengalaman tapi enggan belajar.

Dalam situasi ekonomi yang penuh tantangan, HR punya peran besar dalam membentuk tim yang tangguh dan relevan. Maka, jangan hanya mencari kandidat yang “bisa kerja”, tapi cari yang “siap tumbuh”—karena skill bisa dilatih, tapi mentalitas adaptif adalah aset jangka panjang.

Jika Anda bagian dari tim HR yang sedang menata ulang strategi rekrutmen, mungkin ini saatnya mengevaluasi ulang kriteria seleksi. Dunia sudah berubah, dan HR yang sigap berubah akan jadi kunci ketahanan perusahaan ke depan.

Informasi lebih lanjut:

Putri Amandawati

Corporate Communication

PT Mitra Utama Madani

corcom@mum.co.id

www.mum.co.id